Bila kuingat kembali kejadian itu, sesungguhnya aku bisa tertawa atau juga merinding ketakutan. Bila akal sehatku berbicara,
Tawa kan berkuasa. Menertawai diri sendiri yang sesungguhnya tak perlu mempertanyakan jawaban atas peristiwa misterius
tempo hari sampai berlarut-larut. Bila perasaan kuturuti, maka serta merta bulu kudukku merinding tak berakhir.
Semuanya mengalir begitu nyata, tiada sanggup panca inderaku memahami fenomena sensasional di atas batas logika. Oleh
sebab itu tekadku sekuat mungkin agar sewajar mungkin seluruh hal-hal terkait kusikapi tanpa berlebihan.
Sudah kuduga apabila teman-temanku tak seorang pun ada yang mau percaya. Menyerah juga pada akhirnya. Toh aku
tak mengambil keuntungan apa-apa kalau pun mereka percaya. Saat itu hanya aku saksi satu-satunya. Mata kepalaku
sendiri. Yang lain hanya bisa menilaiku dari satu sisi saja. Sisi seorang paranoid. Ilusi di sore hari.
Halusinasi untuk mencari sensasi. Atau tepatnya kerinduan di tengah rasa bersalah yang belum bisa juga kumaklumi sampai
detik ini.
***
Usai
menunaikan sholat Ashar, kuambil celAana jins serta jaket Yamaha dari gantungan baju dibalik pintu kamar kosku. Trisha,
kakakku nomor tiga, masih asyik membuka e-mail yang masuk. Kakinya dilipat seperti posisi orang tengah berlatih
yoga mesti sedang duduk di atas kursi berjok julit warna merah menyala. Dari speaker laptop-nya mengalun lagu dari band
favoritnya, Peterpan. Ada apa denganmu begitu sering ia perdengarkan sejak pagi masih gelap. Kurogoh tas
kuliahku mencari dompet serta kunci motor biasa kuletakkan. Ponsel baruku masuk ke dalam saku sebelah kanan.
Di dalam dompetku masih tersisa beberapa puluh ribu. Kuselipkan ke dalam saku belakang. Kunci motor bergantungan
miniatur motor berbahan kuningan berada dalam genggaman tangan. Kuraih sarung tangan kulitku dari atas jemuran.
Tanpa dia kedua telapak tanganku akan membuat stang menjadi licin karena tanganku cepat berkeringat. Tak sekali pun
terlupakan, ditambah setelah peristiwa nahas malam itu rasa waspadaku semakin tinggi.
Kuucapkan
salam kepada Trisha kemudian menuju bagian belakang kos untuk mengambil sepasang sepatu Adidas strip biru-kuning hadiah ulang
tahun dari orang tuaku. Tanpa mengenakan kaus kaki kukenakan mereka tanpa menalikan talinya yang memang pendek.
Pintu garasi kubuka grendelnya. Beberapa motor lain menganggur begitu saja, juga Kharisma milik Trisha yang sudah agak
berdebu. Pintu terbuka lebar. Kudorong sampai luar baru kunyalakan mesin agar tidak menganggu ketenangan dua penghuni
kos yang kamarnya tepat berada di sebelah garasi. Helm cakil berwarna asli hitam namun telah kusemprot pilox
sampai berubah menjadi empat warna segera terpasang melindungi kepalaku. Kaca gelapnya kuturunkan untuk melindungi pandanganku
dari pasir yang terkadang tanpa kompromi masuk membuat mataku perih bukan main. Suara mesin dua-tak menderu bising di
telinga, namun buatku amatlah merdu melebihi pitch milik Ashlee Simpson. Penunjuk tangki berhenti di tengah.
Baru kemarin kuisi penuh dan seperti biasa aku tidak pernah betah berlama-lama di kos hingga jalanan beraspal adalah karibku
nomer satu.
Aku menunggu bergantinya lampu merah di perempatan jalan C. Simanjuntak paling depan. Iringan mobil dari sebelah kanan
akhirnya habis dan saatnya untuk memacu kendaraanku. Kutarik gas perlahan lama-kelamaan semakin kencang namun berkurang
saat mendekati daerah bunderan UGM. Jalanan memang selalu ramai saat sore begini. Bis-bis perkotaan
melaju dengan lambat bahkan berhenti sesuka hati hingga rem cakram berulang kali menyentakku. Untung sekali pun belum
pernah aku menyerempet. Aku akan menyesal seumur hidup bila motor kesayanganku ini sampai lecet. Di perempatan
Kolombo lampu hijau tengah menyala. Kutancap gas melambungi entah beberapa motor lain.
Berbelok
ke kiri menyusuri Jalan Gejayan. Tempat bersejarahku dengan seseorang. Kutandai dengan cara memperlambat laju
motorku begitu akan melewati Hotel Jogja Plaza. Hotel mewah itu berada di seberang kanan jalan. Kutolehkan kepalaku
dan tanpa terasa air mataku menetes. Perih yang terpendam. Kucoba untuk bisa tersenyum.
***
Bahagianya
saat kutahu orang yang pertama kali kukenal lewat obrolan iseng di internet akan datang ke kota ini untukku. Dia memberitahuku
lewat telfon saat pesawatnya telah mendarat di Jakarta. Aku bersorak gembira. Sebab dia bukanlah teman biasa.
Tiga bulan aku menjalin cinta jarak jauh dengannya. Dan malam ini aku bisa melihatnya langsung. Kutunggu dia di
lobi hotel pukul setengah delapan. Pandanganku mengedar lalu sesosok pria berjaket kulit warna coklat menghampiriku.
Langsung kukenali dia sebagai Charlie Drew. Pembalap motor muda berkebangsaan Australia. Diajaknya aku menikmati
makan malam dengan menu spesial di hotel itu.
Charlie
bukan tipe pria romantis yang senang memuji lawan jenisnya setinggi langit. Tapi itulah yang aku suka darinya.
Dia bercerita apa saja yang aku tanyakan. Tatapan mata hijaunya tak pernah lepas dariku. Lembut seolah takkan
mungkin bisa menyakitiku. Senyumannya senyum seorang gentleman. Kuharap bukan karena kesan pertama semata
aku jatuh cinta pada pria ini. Kami keluar berjalan-jalan dengan motor miliknya yang selalu setia menemani. Charlie
tak begitu tertarik dan jenuh. Kami kembali ke hotel dan tanpa kuduga ia mengajakku balapan malam nanti. Tentu
saja aku berpikir dua kali untuk menerimanya. Belum pernah aku melakukan hal itu sebelumnya. Tapi aku tak ingin
mengecewakannya. Kuterima dan kami menunggu hingga dentang jam berbunyi sebanyak sepuluh kali di dalam kamarnya. Kami
mengecek keadaan motor masing-masing. Semuanya dalam keadaan sangat baik. Charlie punya motor yang hebat.
Modifikasinya kelas tinggi. Aku masih ketinggalan jauh, namun kepercayaan diriku masih di level atas. Aku tak
peduli dengan prestasinya yang luar biasa di arena balap Australia. Diabadikan dengan sejumlah piala penghargaan serta
luka baret vertikal pada alis kanannya.
Kami
mulai kejar-mengejar saat memasuki Ring Road. Jalan panjang ini paling cocok untuk unjuk kebolehan. Speedometerku
menunjuk angka 120, dan Charlie hanya beberapa detik di belakangku. Kulambungi truk-truk besar dengan penuh kebanggaan.
Kecepatanku semakin naik. Tekanan angin juga menekan dadaku sama kuatnya.
Kami
berhenti di perempatan menuju jalan Kaliurang. Charlie mengacungkan ibu jarinya. Kubalas dengan mengacungkan ibu
jariku ke arah bawah. Aku tak bisa melihat wajah Charlie dibalik kaca hitam helmnya. Mungkin ia tertawa.
Ia tak pernah sungkan menyebutku sebagai perempuan berani mati. Padahal aku sama sekali bukan pembalap seperti dia.
Aku hanya seorang mahasiswi yang tak pernah jenuh mencari petualangan. Kami kembali melanjutkan saat lampu traffic
berganti warna. Charlie mendahuluiku. Aku merutuk dan memancing adrenalinku untuk segera melewatinya.
Kami
telah melewati perempatan Jalan Magelang ke arah barat. Arah kami lurus dan di sana suasananya lebih sepi hingga tanpa
ragu kedua motor sudah semakin gila. Kecepatanku sedikit lagi maksimal. Charlie beberapa meter di depan.
Kecepatannya konstan. Kutambah lagi kecepatan dan baru saja akan menjejerinya, tiba-tiba sebuah mobil Kijang terlihat
di tengah jalan tampaknya akan menyeberang. Charlie mengerem secepat mungkin, namun terlambat sepersekian detik hingga
bunyi gesekan roda dengan jalanan aspal yang menghasilkan decit panjang pun diakhiri dengan suara tabrakan keras. Charlie
terbentur lalu roboh bersama motornya bahkan tubuh Kijang tersebut penyoknya sangat parah. Motorku berhenti sebelum
menabrak. Aku tidak memperhatikan kondisi sang pengendara mobil. Setelah standar motorku terpasang, aku menghampiri
Charlie yang tertimpa motornya sendiri. Dengan sekuat tenaga kupindahkan dan terdengar erangan Charlie sangat lemah.
Aku tak berani menyentuhnya. Darah mengucur dari dalam helmnya lalu mengalir ke jalan. Tubuhnya tak bergerak.
Pengendara Kijang turun lewat pintu kiri. Sambil menghubungi rumah sakit dengan ponselnya, pandangannya tertuju padaku.
Aku nyaris tak kuat melihat keadaan Charlie saat itu. Kupalingkan wajahku dan aku hanya bisa menangis sampai petugas
ambulan mendorong ranjang beroda menuju ruang operasi. Aku tahu harapan hidupnya sangat tipis. Aku tahu malam
ini bisa menjadi malam terakhir untuknya.
Duka
tak tertunda lagi. Charlie tak tertolong. Di kepalanya ada gumpalan darah yang sangat fatal. Ia meninggal
saat menjalani operasi. Air mataku mengalir deras. Dalam sepuluh tahun terakhir malam inilah aku kembali berlinang
air mata. Menangisi Charlie, cintanya, ruhnya yang melayang tak tersisa untukku.
Keluarga
Drew tiba pada pagi harinya dari Victoria. Ayahnya sama sekali tidak menyalahkanku. Aku terisak di bahunya.
Rasa bersalahku terlalu sulit dimaafkan. Aku secara tak langsung telah membunuh putra bungsu kesayangannya. Putranya
yang sejak kecil berniat melanjutkan cita-cita ayahnya. Dan aku telah mengirimnya ke surga sebelum Charlie bisa menjadi
pembalap internasional. Ibunda Charlie datang siang harinya bersama kedua kakak perempuannya. Beliau pingsan melihat
jenasah putranya yang terbaring dengan tenang. Aku meninggalkan kamar mayat dan yang bisa aku lakukan adalah meninju
tembok putih yang tidak berdosa apa-apa padaku. Kusesali semua keangkuhanku yang membuat hidup Charlie harus berakhir
begitu cepat. Sosok tegap dengan sinar mata yang lembut. Andai aku menolak tantangannya, pastilah ia pagi ini
masih ada bersamaku. Mungkin kami akan berjalan-jalan ke suatu tempat yang kuyakin takkan mengundang rasa jenuhnya.
Pemakaman
Charlie dilakukan dengan penuh duka di tanah kelahirannya. Di sebuah desa pertanian dengan peternakan kuda milik keluarga
warisan turun temurun. Di sanalah Charlie dilahirkan dua puluh dua tahun silam. Ia diberi nama seperti nama salah
satu leluhurnya yang dulu membuka lahan pertanian pertama kali di sana. Musim semi akan segera tiba. Langit begitu
cerahnya. Rerumputan terhampar hijau menyegarkan pandangan mata yang melihatnya. Kuhapus air mata dengan sapu
tangan. Seorang pendeta membacakan doa. Yang hadir mengenakan pakaian berkabung. Kakiku terasa begitu lemasnya,
tapi aku tak ingin pingsan. Aku harus terlihat tegar. Timbunan tanah bertabur bunga membuat pandanganku tak bisa
berpaling. Batu nisan penandanya bak mengukuhkan keabadian jasad Charlie di bawah sana. Usai upacara pemakaman,
tak lama aku kembali bersama rombongan keluarga almarhum ke rumah. Aku akan kembali ke tanah air pagi ini.
Penerbangan
panjang tak juga melarutkan pedihku. Jogja baru saya disiram hujan lebat. Adakah alam menemaniku?
Trisha menjemput di bandara. Dia menghiburku sebisanya. Kami pulang dan aku langsung mengeluarkan motorku tanpa
berniat ingin beristirahat. Beban pikiranku sangat menyiksa. Bayang jasad Charlie dan saat kulihat ia menabrak
mobil yang mengambil nyawanya. Semuanya masih jelas.
***
Sejak
kecelakaan itu setiap sore aku selalu melewati jalan rute kami balapan dulu. Tapi entah mengapa perasaanku begitu aneh.
Bayangan Charlie tiba-tiba menyita konsentrasiku. Kecepatan motorku naik-turun. Dadaku berdegup kencang seolah
ada sesuatu memaksa keluar. Ada siratan emosi yang menyerangku. Aku jadi labil. Hampir aku menyerempet sepeda
yang tengah mengangku kardus-kardus bekas bila tak segera kubelokkan stang motorku ke kanan. Aku menarik nafas lega.
Tapi resahku tak kunjung hilang. Aku menengok ke sebelah kiri memperhatikan bayangan hitam dari sinaran matahari yang
semakin condong. Ada dua bayangan bergerak di sana. Bayanganku dengan motorku dan ada bayangan lain. Hingga
Ring Road barat bayangan di belakangku tetap mengikuti. Sama sekali tak terpikir olehku untuk melihat lewat kaca spion.
Kupacu kecepatan motorku dan sesekali aku melihat bayangan di belakangku pun tidak pernah jauh dariku. Mengekoriku hingga
ketika sampai di petempatan Godean aku memberanikan untuk menoleh ke belakang. Hampir aku menjerit kengerian karena
sama sekali tak ada seorang pengendara motor di belakangku. Cuma sepeda dan mobil. Merinding buku kudukku.
Kuatur nafasku sesabar mungkin.
Mungkinkah
itu bayangan Charlie? Ataukah halusinasiku? Ataukah karena pikiranku sedang kosong? Berat rasanya kepalaku.
Pening bercampur cemas. Aku berhenti di depan sebuah bengkel mobil. Kududuk di atas jok dan merenung. Bila
memang itu bayangan Charlie, apa artinya itu? Kulihat jam tanganku dan nafasku tertahan sesaat sampai kurasakan sesak.
Tanggal 17 Desember adalah hari perayaan ulang tahunku. Charlie pernah berjanji akan berada di sisiku saat aku berusia
dua puluh tahun. Itu berarti hari ini. Kucoba memadukan dua kenyataan rasional dan yang irasional. Keduanya
tak dapat menyatu. Percuma saja.
Setiap
wanita akan menampakkan kecantikannya pada saat melewati masa belasan tahunnya. Dan aku pun yakin kau akan menjadi perempuan
tercantik buatku. Saat itulah aku berjanji akan berada bersamamu meski hanya sehari. Memuji kecantikanmu yang
tak bisa kukatakan. Aku tak akan salah, Visha. Hanya di sisimu aku merasa menjadi pria sejati. Takkan lagi
kulihat kau hanya dalam mimpiku semata, tapi kau akan menjadi kenyataan bagiku.
Itulah
harapan Charlie. Tak sempat terwujudkan tapi aku akui hadirnya. Aku tahu dialah bayangan itu. Dia tahu aku
takkan takut dan mengusirnya.
***
Sebuah
tiket pesawat telah berada dalam genggamanku. Aku akan mengunjungi keluarga Charlie sekaligus menziarahi makam Charlie.
Tahun telah berganti dan serpihan hatiku telah pulih kembali. Aku merasa lebih kuat dari sebelumnya. Aku berjanji
dalam hatiku sendiri takkan menangis di depan pusaranya. Aku takkan menangis. Bayang itu tak pernah lagi mengekoriku.
Semua hanya terjadi saat hari jadiku. Mungkin Charlie telah tenang di alamnya. Dan aku pun juga telah bisa menerima
cinta lain yang datang menggantikan dirinya. Orang itu kini ada di sisiku menemaniku menaruh bunga kenangan terakhir
dariku di atas makam almarhun Charlie Drew yang telah dibangun dengan indahnya.
tamat
Take
me back to [The Navigation Bar feature is not
available in this web]